JATI DIRI MANUSIA IDEAL


Apa yang akan terjadi bila manusia sudah sesuai dengan iradat atau kehendak-Nya? Ya, dia akan menjadi insan sempurna atau disebut Insan Kamil. Lantas apa dan bagaimana potret manusia ideal yang tersebut? Apakah sesuai dengan jati dirinya sendiri atau diri yang mencontoh para Nabi/Rasul sehingga jati diri kita hilang?

Artikel ini dimaksudkan sebagai upaya (meski kecil) untuk memperteguh keimanan kita, bahwa sesungguhnya keyakinan kita adanya manusia sempurna yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa itu bukanlah utopia atau angan-angan kosong. Sehingga upaya kita untuk berproses dan bermetamorfosis untuk menjadi insan kamil sebagai tujuan hidup itu tidaklah sia-sia belaka.

Kami ingin agar Pembaca yang budiman mengkritik dan memberi sanggahan atas alur berpikir saya yang dinilai salah, sehingga tidak terjadi dominasi alur berpikir. Sebab saya yakin, rumusan kebenaran bersama yang dipikirkan oleh banyak kepala derajatnya akan lebih sempurna dan lebih lengkap dibandingkan dengan berpikir sendiri atau dengan hanya sekelompok kecil keyakinan yang tidak disanggah melalui argumentasiyang matang dan masuk akal.

Ada sebuah tesis bahwa sebuah upaya perjalanan spiritual pasti memiliki titik henti. Titik henti itu merupakan tujuan proses perjalanan spiritual yaitu menjadi manusia sempurna/insan kamil di dunia ini. Tanpa adanya insan kamil atau manusia sempurna di dunia ini berarti proses perjalanan spiritual kita bisa dikatakan tidak masuk akal. Ibarat kita sedang mencari dan ingin menjadi sosok idola sementara sosok idola itu tidak ada dalam kenyataan. Bukankah hal ini merupakan kekonyolan?

Bila kita yakin bahwa tujuan pencarian kita adalah menjadi manusia sempurna, insan kamil, atau manusia yang sudah bertakwa, atau manusia yang sudah mampu manunggal dengan kehendak dan iradatnya itu ada. Lantas seperti apa adanya itu? Sifat-sifatnya? Dan siapa contoh manusia sempurna itu?

Ya benar, bahwa para nabi/rasul yang tersebut dalam kitab suci adalah manusia yang sempurna. Sehingga kita diminta untuk mencontoh/mensuritauladani sepak terjang mereka di dunia. Lantas pertanyaan kita, bagaimana dengan perilaku mereka bisa diterapkan oleh kita yang sangat tidak ideal ini?

Nanti bila kita sudah ditiadakan di dunia ini, atau meninggal dunia dan ditanya oleh malaikat; maka pertanyaannya mungkin sebagai berikut: Apakah kamu sudah berperan sebagai Karto, Karso, Karno yang ideal sesuai dengan jati dirimu sendiri? Pasti kita tidak ditanya, apakah kamu (Karto, Karso, dan Karno) sudah berperilaku dan bersifat seperti Para Nabi/Rasul yang hidup ratusan atau ribuan tahun lalu?

Inilah yang perlu digarisbawahi, bahwa kita diharapkan untuk menjadi DIRI SENDIRI dengan sifat, watak, karakter yang asli diri kita. Diri yang mampu mengolah seluruh potensi kemanusiaan kita yang paling baik, berperilaku yang terbaik dan berkarya sesuai dengan apa yang sudah kita miliki sekarang ini. Tidak mungkin kita berkarya dengan potensi-potensi yang bukan diri kita. Misalnya, kita diharapkan berkarya menciptakan pesawat terbang bila kita tidak memiliki potensi keilmuan yang mendukung terciptanya pesawat terbang.

Jadi manusia yang sempurna dan ideal sesungguhnya adalah manusia sesuai dengan JATI DIRI Karto, Karso, Karno, …. atau sesuai dengan titah Anda diciptakan-Nya. Sehingga sangat masuk akal bila kita bertanya dalam rangka untuk menjadi manusia sempurna sebagai berikut: Apakah saya sudah menjadi sebagaimana yang Tuhan kehendaki, apakah kaki saya sudah melangkah sesuai dengan karep atau kehendak sang Pencipta kaki? Apakah akal sudah untuk berpikir sesuai dengan Sang Pemrakarsa? Apakah tangan saya sudah memegang dan menyentuh sebagaimana yang dikehendaki Sang Maha Penyentuh?

Ini berarti yang dikehendaki Tuhan adalah: Jadilah diri Anda sendiri, sebab inilah yang dicontohkan oleh para Rasul dan Nabi kita dulu. Sebagaimana Muhammad SAW juga tidak mencontoh Nuh, Isa, Musa, Ibrahim maupun Adam. Isa juga tidak mencontoh Ibrahim, Ibrahim juga tidak mencontoh Nuh, dan seterusnya… Mereka tidak mencontoh siapa-siapa, dan mereka yakin bahwa Tuhan sudah menciptakan diri mereka sendiri sangat sempurna. Tinggal bagaimana SESEORANG ITU MEMUNCULKAN POTENSI KEMANUSIAAN YANG PALING SEMPURNA YANG ADA PADA DIRINYA.

Keyakinan ini sangat ideal, saya kira, karena lebih menghargai prinsip keadilan Tuhan. Karena Tuhan Maha Adil pula dia tidak membeda-bedakan manusia kecuali ketakwaannya, kecuali perilakunya, kecuali amal perbuatannya. Amal perbuatan juga pasti disesuaikan dengan potensi kemanusiaan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.

Tidak mungkin saya stau mungkin Anda dituntut untuk memimpin sebuah umat misalnya, sebab kita dilahirkan dengan sifat-sifat introvet, tidak mampu berbicara di depan umum, tidak memiliki sumber daya yang mendukung untuk diyakini oleh banyak orang. Bukankah sekarang ini jamannya bahwa pemimpin umat adalah mereka yang memiliki segudang kelebihan? Wajar para Nabi dan Rasul dipercaya oleh banyak orang sebab mereka dibekali dengan mukjizat-mukjizat untuk meneguhkan kepercayaan orang terhadap eksistensi kenabian/kerasulan. Para nabi dan rasul itu juga memiliki tanda-tanda kenabian/kerasulan yang bisa dilihat secara obyektif dan meyakinkan.

Sementara kita?

Jangankan mukjizat, wahyu dan Jibril juga tidak pernah dan mungkin pula hingga akhir hayat tidak mungkin akan mendatangi kita… Duh, gimana ini?

Jangan putus asa dari rahmat dan hidayah Allah SWT. Sebab dia telah memberikan kita kemudahan-kemudahan yang luar biasa banyak. Semua telah diberikan gratis pada kita. Boleh dikatakan kita ini manusia gratisan. Tubuh gratis, nyawa gratis, otak, batin, udara gratis pula… Nah, kenapa pula kita masih mengeluh bahwa kita manusia yang tidak sempurna dan gudang kebodohan?

Yakinlah sekarang, bahwa sesungguhnya kita adalah manusia yang serba sempurna. Manusia sempurna bukan manusia yang memiliki mobil, rumah, pekarangan, sawah, gunung, lautan, kaal pesiar, hotel, penjara, kekuasaan, uang beratus juta, tabungan, kartu kredit, isteri cantik, dan sebagainya… Manusia sempurna adalah manusia yang menyadari kesempurnaan wujudnya sebagai pemberian lengkap dari Tuhan untuk disyukuri sekaligus dimanfaatkan untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Berbuat sebaik-baiknya sesuai dengan JATI DIRI-nya masing-masing.

Oleh sebab itu, manusia sempurna bisa datang mana saja… Bisa datang dari Gang Buntu di ujung RT becek sana, bisa datang orang yang tinggal di sepetak tanah di tengah area persampahan, bisa datang dari bawah kolong jembatan yang berdindingkan kardus dan tidur dengan kertas koran, namun bisa juga datang dari sebuah kamar hotel mewah berbintang tujuh.

Ada sebuah kata yang bijaksana yang dilontarkan oleh Socrates dan di dalam kitab Suci juga ada: KENALILAH DIRIMU SENDIRI, MAKA KAU AKAN MENGENAL TUHANMU. Ya, kita tidak diminta mengenal Para Nabi/Rasul/Para Sahabat/Para Ulama/Para Pemimpin Sekte dan seterusnya untuk mengenal Tuhan. Tapi justeru mengenal DIRI SENDIRI YANG SEJATI. Ada apa sesungguhnya dengan diri ini? Apakah kita sudah mengenal benar-benar siapa diri kita? Jangan-jangan apa yang telah kita anggap diri sendiri selama ini ternyata belum diri sejati kita? Pantaslah bila akhirnya kita belum mengenal Tuhan… Lha wong mengenal diri sendiri saja belum, gitu kok mau mengenal Tuhan…

Parahnya, bila kita tidak mengenal diri sendiri, maka kita tidak akan mengenal Tuhan. Namun kita akan mengenal antitesis dari Tuhan yaitu setan. Kalau ini terjadi, pasti yang kita kenal bukan diri sendiri tapi diri orang lain atau malah diri setan itu sendiri. Ya, ampun deh…

Monggo kita diskusikan bersama, jangan sampai kita terjebak dalam anggapan bahwa diri kita sudah menjadi diri sejati kita. Bila kita yakin bahwa diri kita sudah menjadi diri sejati kita, ini berarti diri kita sudah dibisiki oleh setan. Diri sejati lah yang hanya bisa mengenal Tuhan Yang Sejati yang digambarkan oleh para ahli kebatinan sebagai TAN KENA KINAYA NGAPA… Yang tidak bisa digambar oleh pikiran dan kata-kata. Bila Anda kebetulan pada suatu ketika merasa sudah mengenali Tuhan, yakinlah itu bukan Tuhan yang sesungguhnya…sebab Dia tidak bisa digambar oleh otak, qalbu dan mulut Anda.

Ini sedikit tips sholat khusyuk: Jangan menggambar Tuhan dengan kekuatan pikiran. Seberapa kuat pikiran Anda menggambar Tuhan dalam angan-angan? Menggambar benda yang ada di depan mata saja saya yakin tidak sempurna kok, mana mungkin mampu menggambarkan Tuhan dengan kekuatan fokus pikiran dan fokus batin kita.. Bukankah Tuhan juga tidak berwujud sebagaimana yang ada dalam gudang data/memori di otak? TUHAN MEMILIKI SIFAT BERBEDA DENGAN SEMUA HAL YANG PERNAH DIKETAHUI DAN DIANGANKAN OLEH MANUSIA. Sehingga sholat khusyuk justeru tidak perlu konsentrasi macam-macam. Pikiran dan batin kita hanya sumarah, pasrah total, sumeleh saja…

Salam sih katresnan

wongalus

Categories: JATIDIRI MANUSIA IDEAL | 15 Komentar

Navigasi pos

15 thoughts on “JATI DIRI MANUSIA IDEAL

  1. Jadi diri sendiri, bagi saya merupakan konsep yang masih absurd.
    Mengapa absurd? Karena semua perilaku kita, selalu “ditentukan” oleh sebuah platform kultural dan genetik di sekitar kita.

  2. sugeng enjing ki alus…

    wah njenengan ki andhap asor tenan, sebenarnya saya dari dulu hampir semua sependapat dengan artikel2 njenengan dan tentu saja saya meguru teng njenengan, jadi insya Allah saya tidak akan ngritik njenengan tapi cuma sedikit urun rembug barangkali pendapat saya bisa berguna bagi pembaca sekalian dan tentu saja saya sangat berharap kita semua saling menghargai, melengkapi, mendukung dan tidak saling menyalahkan, terutama utk tidak saling benar sendiri yg penuh watak keapian,

    dari dulu saya berpendapat bahwa tiap insan itu punya maqom sendiri2, maqom ini sebenarnya takdir yg terbaik disisiNya dan kita wajib utk berusaha mencapai takdir tsb, apakah profesi tambal ban lebih rendah dibanding profesi seorang ustadz? tentu saja sama dimata Allah, asal keduanya menjalankan fungsinya dgn semestinya dan tidak berbuat dholim, begitu pula dengan seorang presiden yg tidak lebih mulia dibanding tukang sayur….tapi yg jadi masalah adalah ketika seseorang yg berprofesi tukang becak tidak bersyukur dan ngiri thd juragan becak, padahal keduanya sama2 mulia dimata Allah, ketidak muliaan anggapan si tukang becak itu karena rasa iri yg menutupi hatinya….jadi syukurilah rejeki kita adalah yg terbaik buat kita utk saat ini juga rejeki pencapaian spiritual kita walaupun sangat pas2an dan jauh dari para Nabi/Rosul tapi apabila kita bersyukur, ikhlas dan terus menerus berusaha utk purba diri maka insya Allah derajat kita akan mendekati para nabi tsb asalkan jangan sombong dan terlalu cepat puas….Yakinlah itu!!

    njenengan benar sekali ttg tips sholat tsb, jangan sekali2 kita membayangkan Allah bahkan membayangkan arah Allah spt didepan, atas, belakang dsb juga tidak boleh, tapi saya kira kita bisa merasakan Nur Allah yg membelai hati kita dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang maka secara tidak langsung kita telah menghadirkan Allah dihati kita tentu saja bukan dalam arti sebenarnya….jadi saya sepakat dgn ustadz abu sangkan bahwa dalam sholat hatilah yg berperan……Allah adalah subyek sesembahan kita, sedangkan kita adalah obyeknya….bagaimanapun juga Allah mustahil menjadi obyek apapun…..

    nyuwun ngapunten ki mbokmenawi wonten kalepatan2

    nuwun

  3. abu amili

    Menarik sekali artikel ini, sebagai renungan dan sekaligus pencerahan agar kita slalu dapat menjalankan Kodrat dan Iradhat Sang Maha Penciptnya.
    Saya lebih mudah mengatakan bahwa DIRI yang slalu menjalankan irodhatnya Tuhan dalam menjalankan kehidupan adalah apa2 yang ada dan DIMUDAHKAN Tuhan atau sesuai kehendak-NYA, sesuai kadar masing2.

    Lanjut ki……. terima kasih atas cerahannya, salam alus, asih dan sejati

  4. shilla.kr

    saya setuju juga sama mas MASTONO,malu mau ngritik ki Wongalus. Ki,maaf ini agak O-O-T!! Saya ni suka nongkrong di warung2 blog.baru beberapa hari lalu saya nemu indomotoblog,isinya ya blog2 ttng otomotif yang di organisir. Terus saya jadi kepikiran gimana kalo blog ki Wongalus dkk ini digituin juga,dikumpulin di satu supermarket,biar kita yang lagi kemaruk ini enak njajannya,mo makan ini itu nggak usah repot jauh jauh,gampang nemuin link2 yang sejenis. Gimana Ki? atau sedherek2 lainnya barangkali berminat untuk jadi koordinator? kalo saya sih cuma sanggup jadi corong saja….

  5. Yth Mas Segar…Ya, mas.. dalam filsafat manusia perenungan tentang siapa “aku” tidak pernah selesai dibahas dan tetap aktual sepanjang masa. Sepanjang manusia masih mempertanyakan dirinya, berarti masih waras.. Yang tidak waras, adalah manusia yang sudah enggan lagi berpikir siapa diri saya sesungguhnya… Nah, meskipun abstrak dan absurd saya kira kita masih bisa menetapkan satu titik untuk bereksistensi di tengah kepungan platform kultural, genetik dan peradaban: saya berpikir maka saya ada… adanya saya karena saya ragu-ragu, ragu-ragu karena saya berpikir, saya berpikir adalah landasan awal memahami kenapa saya ada.

    Yth Ki M4stono, Sepakat panjenengan kemawon mas. Panjenengan sebenarnya adalah guru saya. Kalaupun panjenengan enggan mengakui.. maka monggo dirumuskan bareng: KIta semua sesungguhnya saling menjadi guru dan murid atau murid dan guru, saling memberi dan menerima, saling berbagi untuk sebuah pencerahan spiritual. Nuwun Ki..

    Yth Mas Abu Amili… kesesuaian dengan Iradat-Nya adalah tujuan akhir perjalanan spiritual kita. Dan dari kata-kata yang mengalir dari Panjenengan, adalah tanda-tanda panjenengan telah berlayar di samudra makrifatullah.

    Yth Mas Shilla.kr … mungkin saran dan ide Anda bisa diwujudkan dengan mudah bila masing-masing blogger memiliki kesepahaman. Namun, di sinilah uniknya: masing-masing berbeda pandangan. Tidak apalah karena yang namanya demokrasi adalah menghargai perbedaan dan mencari titik temu, bukan mencari titik keberbedaan. Ide anda menyatukan blog-blog dalam satu wadah ide yang sangat bagus, seperti pasar modern mall, semua tersedia lengkap dalam satu gedung. Tapi yang kasihan dengan keberadaan mall adalah pasar tradisional yang akhirnya tergusur dan lama-lama akan mati… BIla demikian halnya, biarlah para blogger ini menjadi pasar tradisional saja, yang menawarkan lemper, singkong bakar, jagung godog dll sesuai dengan karep/keinginannya masing-masing. Semua kebenaran kan pada akhirnya bermuara pada yang satu: KebenaranNya jua. Tapi saya berharap ide panjenengan semoga terwujud. Salam.

  6. azzie iskandar

    mas m4stono & mas wong alus terima kasih sudah berbagi shaf dgn makmum yg lain, sy merasa solat berjamaah yg khusu sekali disini karena keakuran opini, kesamaan kiblat atau apapun namanya, kalau boleh nambah komen ttg artikel ini, bahwasanya berjihad dengan tujuan insan kamil akan lebih berasa damai bila tidak di embel-embeli ambisi yg tersembunyi, cukup di embel-embeli sabar & wara’ nonstop, ins.Alloh pasti lebih nikmat, alhamdulillah

  7. Ki Wong alus yang benar2 alus tur cermat
    saya tertarik dengan beberapa penggal kalimat berikut:

    Yakinlah sekarang, bahwa sesungguhnya kita adalah manusia yang serba sempurna

    Jikakita mau menyadari, pastilah akan paham bahwa ternyata dalam diri setiap manusia secara STANDAR sudah dibekali perangkat keras (hardware) dan lunak (software) ynag sdh diSTANDARDISASI oleh Yang Murbeng Gesang. Standar Software dan hardware sangat komplit, dan standarnya sama untuk setiap orang. Dengan demikian, setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi insan kamil atau manusia sempurna. Tidak tergantung pada apa suku bangsanya, apa budaya dan ajaran spiritualnya. Itulah kebijakan dan keadilan Tuhan yang TIDAK PILIH SIH. Itulah pemahaman sy ttg MAQOM aseli dan sesungguhnya bikinan Tuhan. Mqom aseli tdk terpengaruh oleh hukum sebab akibat. Artinya, maqom kamil itulah yg asli standar manusia. Bila ada yg kurang yakin, bisa saja belajar kepada BAYI yg baru lahir hingga menjelang akil balik. Di situlah saatnya orang menjadi manusia paling suci selama ia hidup. Belum terkena polusi nafsu negatif atau antitesis Tuhan yakni setan. Dapat dikatakan, tak ada seorang pemimpin agama manapun yg kesuciannya melebihi bayi, anak-anak, hingga menjelang usia baliq. Sebab setelah usia dewasa/akil baliq, manusia mustahil untuk benar2 bebas dari polusi nafsu negatif, sekalipun sangat lembut dan kecil. Artinya tak ada manusia yg TIDAK PERNAH SALAH, sekalipun nabi, ia pernah salah. KECUALI, usia kanak-kanak, orang idiot, dan orang yg sakit gila sejak kanak2. Itu lah kesucian dalam titik nadir, titik nol. starting point. Sehingga, orang menjalani hidup harus bertugas kembali ke garis start. Itulah makna dari kiasan kakangne lembarep, adine wuragil. Kesempurnaan hanya bisa duraih manakala manusia hidup menjalani hukum yg sesuai dengan iradat Tuhan, sama halnya hukum alam, mulat laku jantraning bumi dan 7 unsur alam semesta lainnya (Pusaka hasta Brata). Karena unsur-unsur itu diidentifikasi sebagai wujud dari sifat Tuhan yang tampak/mangejawantah bisa disaksikan manusia di alam semesta ini. Sampai di sini, manusia dinamakan “hanggayuh kasampurnaning gesang, krana manunggal ing Gusti. Sifat roroning atunggil”.

    maka, di masa lampau, banyak pula leluhur bangsa ini yang mampu menggapai tataran kemuliaan sejati di dunia (kamil) yang ditandai dengan ciri makrifatnya, misalnya: idu geni, sabda pandita ratu, apa yg diucap pasti terlaksana. Karena ucapannya adalah benar2 iradat Tuhan. hanya saja mereka tidak ada yg menyebutnya sebagai “nabi”. Krn nabi sdh menjadi terminologi bansga dan budaya Arab. Sedangkan di Jawa zaman dlu, hal itu bukanlah aneh, atau luar biasa, sebaliknya hanya menjadi SAK LUMRAHING JALMA KANG pinangka TITAHING GUSTI.

    Hanya saja, kenapa ada orang yg memiliki talenta lebih dari yang lainnya ? Dan ada pendapat maqom tiap org berbeda ? Sejauh yg saya tahu, hal ini sudah menyangkut derivasi hukum sebab akibat. Artinya, bukan standar kekamilan manusia dari Tuhan, melainkan ada unsur kreatifitas dan tekad manusia dalam menggapai kesempurnaan hidup. Ibarat menanam pohon mangga, buahnya tidak hanya dinikmati sendiri oleh yg menanam saja, namun bisa LUMUNTUR dipanen oleh anak cucu, atau anak turunnya.

    Nah utk bab ini, mohon para pembaca yg budiman dan sesepuh di sini terutama Ki Wongalus utk sedikit membahasnya.

    Saya juga sangat terkesan dengan kalimat Ki Wongalus berikut:

    Ada sebuah kata yang bijaksana yang dilontarkan oleh Socrates dan di dalam kitab Suci juga ada: KENALILAH DIRIMU SENDIRI, MAKA KAU AKAN MENGENAL TUHANMU.

    Socrates yang hidup antara 500-400 SM (mohon dikoreksi ya Ki). Saat di mana sebelum agama-agama samawi lahir secara melembaga, namun manusia sdh bisa menemukan rumusan tersebut yg ketepatannya diakui oleh agama-agama besar di bumi ini. Itu merupakan salah satu bukti, bahwa sudah sejak zaman prasejarah Tuhan sudah Maha Adil dan Bijak, manusia diciptakan dalam standar sama dgn sofware dan hardware yg sdh canggih. Hanya saja, ada yg mau mengoptimalkan, namun banyak juga yg malas mengolahnya. banyak Cara mengoptimalkannya, antara lain dgn ajaran agama, budaya, filsafat, disiplin ilmu dst seperti yg Ki Wongalus sampaikan di atas. banyak org yg sukses mengoptimalkan JATI DIRI, misalnya para nabi, biksu, pendeta, budayawan, seniman, ilmuwan, dst. Semuanya mengambil pada porsinya masing2. Namun, sekali lagi, merupakan realitas sungguh nyata, nilai kesempurnaan itu pun sungguh BIAS dan MENCENGANGKAN. Betapa tidak, bukankah nabi yg dianggap manusia sempurna, kenyataannya tidak bisa membuat peralatan atau teknologi canggih. Seorang biksu, belum tentu mampu menguasai ilmu bertani, ilmu nelayan, ilmu perbintangan. Seorang pendeta, gagal mendalami ilmu matematika.

    Itulah, konsep “kesempurnaan”. Yang selama ini saya masih teramat cubluk untuk benar2 memahaminya. Atau mungkin, memang benar, bahwa kesempurnaan manusia, tidaklah cukup hanya dengan mengumpulkan kemampuan milyaran mansia dalam jagad ini. Karena konsep itu mungkin sekedar utopia, atau konsep idealisme yg ilutif hanya sebatas bisa dicapai dalam harapan dan cita-cita saja ??!!

    Kula nyuwun duko panjenengan Ki, awit saking kiranging trapsila, lan awit saking cubluking manah lan pikir kula menika. Mugi Gusti tansah paring pangapura.

    Salam sih katresnan

  8. Bisakah kita mencapai jati diri kita yang sesungguhnya? Ketika semua memerangkap & memasung kita?
    Ungkapan dalam mistik Jawa
    “Ingsun Tohjalining Dzat Kang Maha Suci”.
    Ya semula adalah Dzat yang Maha Suci yang terus berevolusi, dari sebuah Big Bang menjadi hamparan galaksi, dari mikroba menjadi makhluk berintelegensi tinggi.
    Alam semesta terus berevolusi dan manusia meneruskan proses evolusi itu menuju pemenuhan hidupnya.
    “Ingsun Tohjalining Dzat Kang Maha Suci”.
    Menurut Darwin dalam proses evolusi itu manusia telah melampaui kera. Yang menjadi pertanyaan kemudian akankah proses dialektika alam semesta membawa manusia ‘melampaui manusia’?
    Sebagai wahana kesempurnaan seluruh Dzat, manusia juga memiliki kesempurnaan sifat dari Dzat.
    Sejak terlahir kita telah dibentuk sedemikian rupa oleh lingkungan kita agar sesuai dengan apa yang berlaku di lingkungan itu.
    Kita dikotak-kotakkan, dimasukkan kedalam rumah kaca,
    meski seluruh alam jelas terhampar dihadapan kita namun rumah kaca kita mengungkung dan mengurung kita.
    Manusia kehilangan kesejatiannya.
    Alih-alih meneruskan evolusi menuju pemenuhan hidup, manusia malah terperangkap dalam sebuah ‘realita maya’.
    Kita dihadapkan pada sebuah pasar malam,
    semua menjadi komoditi untuk dijajakan.
    Rasa haus akan pemenuhan hidup menjadikan manusia konsumtif, dan memang dibentuk untuk konsumtif.
    Dalam pasar malam semua dijajakan sebagai ‘kebenaran’.
    Para penjual mengklaim bahwa dagangan mereka adalah kebenaran yang sejati.
    Di stand Kristen mereka menjajakan cinta kasih dan bahwa Allah telah mengutus PutraNya untuk menebus dosa manusia.
    Di stand Islam mereka jajakan fitrah manusia sebagai Rahmatan lil Alamin dan bahwa Muhammad telah membawa kebenaran bagi seluruh umat.
    Namun produk itu dikemas dalam merek-merek berbeda; ada kebenaran Kristen ala Katolik Roma, ada Islam Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Budha Hinayana, Mahayana.
    Semua mengklaim sebagai penjual kebenaran yang sejati.
    Kita hidup dalam realitas maya ‘virtual reality’ .
    Kehausan akan pemenuhan hidup membuat manusia seperti orang yang kehilangan koin didalam rumah tapi ia mencari-cari diluar rumah dibawah tiang lampu jalan dengan pikiran didalam gelap tapi diluar dibawah lampu terang.
    Sungguh sebuah ironi.

  9. pamuji rahayu…

    waaaahhh. itulah manusia .. diri kita.. apa adanya dan disediakan apa adanya.. menjadi diluar adanya.., sehingga menjadi ada dengan adaNya..,
    salam sihkatresnan
    rahayu

  10. Yth mas Azzie iskandar.. monggo gantian saatnya panjenengan jadi imam sekarang.

    Yth Ki Sabda, thanks nggih ki.. Mboten males2 ngandani kita yang masih cubluk ini.

    Yth Mas Tomy, bagaimana caranya menembus ironi diri yang terkungkung dalam realitas virtual ini mas? mohon pencerahannya..

    Yth Ki Hadi,.Kesadaran ontologis bahwa ada kita bergantung pada ada-Nya adalah dasar filosofis bangunan keyakinan seorang mistikus yang insyaallah tepat. Dilanjut Ki…

    Rahayu

  11. Suprayitno
    Ada sebuah cerita yang cukup menarik. Cerita ini diawali oleh sebuah perjalanan seorang Bapak dengan seorang Anak yang dengan gembiranya berdua menaiki seekor kuda jantan yang berbulu putih bersih. Kuda jantan itu sangat gagah, dengan tubuh yang kokoh dan ekornya terjuntai sangat indah. Kuda terus dipacu melewati satu desa ke desa lainnya.
    Banyak warga sekitar yang mengenal bapak tersebut, berdecak kagum “Wah hebat sekali kuda pak Prawiro” puji salah satu warga yang melihatnya.
    “Prawiro berhenti sebentar!” teriak yang lain
    “Ada apa Kang Dulah?” jawab Pak Prawiro seraya memperlambat laju kudanya. Kang Dulah lari mendekat ke arah Pak Prawiro. Sambil menepuk-nepuk badan kuda yang berbulu putih bersih itu, Kang Dulah menyapa Prawiro.
    “Prawiro, setahu saya dimana-mana seekor kuda hanya dinaiki oleh satu orang. Apa sampeyan tidak kasihan dengan beban yang berat itu? Lebih baik anak sampeyan yang naik, sampeyan kan bisa menuntunnya” saran Kang Dulah yang umurnya lebih tua dari Pak Prawiro.
    Setelah dipikir sejenak, Pak Prawiro setuju “Iya betul Kang, saya juga sayang sekali dengan kuda ini” Akhirnya Pak Prawiro turun dari punggung kuda dan menuntunnya.
    Desa demi desa terlewati. Dan setiap desa yang disinggahi selalu saja banyak warga yang memberi pujian dengan kuda Pak Prawiro. Nama Pak Prawiro sangat terkenal di seantero Kecamatan tersebut. Sehingga banyak warga yang memberi salam dan komentar. Komentar dan saran kedua, Pak Prawiro dianggap aneh ini namanya terbalik-balik, seharusnya bapak yang naik, sementara anaknya yang menuntun kuda. Setelah dipikir-pikir Pak Prawiro pun setuju, gantian anaknya yang turun dari punggung kuda, dan sang anak pun dengan senang hati menuntunnya. Di kampung ke tiga, saran selanjutnya adalah seharusnya mereka sama-sama menuntun kudanya, supaya adil. Masak anak disuruh nuntun sementara ayahnya enak-enakan yang naik. Untuk yang ketiga kalinya Pak Prawiro menuruti saran yang baik itu. Di kampung yang keempat, berjumpa dengan Eyang Mardi. “Wiro-Wiro, kamu ini kok bodoh sekali, wong bawa kuda yang sangat gagah kok malah dituntun, ya dinaiki berdua tho. Kan kuda ini cukup kuat!!” sarannya sambil terkekeh.
    Sejenak Pak Prawiro beserta anaknya bingung. Semua yang dilakukan serba salah, bagaimana ini? gumam mereka berdua. Akhirnya mereka minta tolong kepada salah satu kenalan di desa tersebut untuk mengantar kudanya sampai kerumah, yang tinggal melewati tiga desa lagi. Sementara Pak Prawiro beserta anaknya memilih pulang dengan jalan kaki.
    Cerita di atas adalah cerita absurd, cerita konyol tetapi banyak terjadi dalam kehidupan nyata dengan berbagai bentuk (varian) yang berbeda. Intinya, dalam kehidupan ini sebenarnya tidak ada hal yang ideal, ideal itu hanya ada dalam mimpi, hanya ada dalam surga. Oleh karena itu tidak ada suatu keputusan pun yang bisa menyenangkan semua orang. Kita tidak boleh menjadi manusia yang tidak punya prinsip, menjadi peragu yang menuruti semua saran orang lain.
    Kita dituntut untuk bisa menjadi “dirinya sendiri”. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa menjadi dirinya sendiri? Benarkah seseorang yang berusaha untuk menjadi dirinya sendiri bisa digolongkan dalam orang-orang yang egois?
    Menjadi diri sendiri artinya adalah menjadi pribadi yang otonom. Tidak manut grubyuk, tanpo rembuk, monthak manthuk (manggut-manggut) mudah dipengaruhi oleh faham dan kepentingan orang lain. Ciri-ciri pribadi otonom adalah, mengerti kelemahan dan kelebihan dirinya sendiri. Mengerti, memahami dan mau menjalankan setiap tugas dan tanggungjawabnya dengan penuh kesadaran.
    Pribadi otonom tidak mudah iri dan dengki tetapi justru penuh percaya diri. Segala tindakannya selalu diperhitungkan dengan matang berdasarkan logika bukan dengan dorongan nafsu rendah, emosional dan mistik. Ciri pribadi otonom lainnya adalah berkepribadian sangat kuat (bukan orang yang peragu), tenang dalam menyelesaikan masalah (tidak tergesa-gesa) dan berani menanggung risiko atas semua yang telah menjadi keputusannya (tidak pernah mencari kambing hitam atas kegagalannya). Mengakui kesalahan dan kelemahan dirinya sendiri bukan hal yang tabu bagi pribadi otonom. Sebab, sikap yang hanya menyalahkan orang lain menjadikan kita sulit untuk berubah dan berkembang serta sulit menerima kenyataan. Sikap yang hanya pandai menyalahkan orang lain, menunjukkan bahwa pribadi kita sesungguhnya sangat rapuh, kerdil, picik dan egois sebab hanya mau menang dan benar sendiri.
    Pribadi otonom mengabdi pada kebenaran bukan pada “kesesatan”. Ukuran kebenaran adalah adanya persesuaian antara pernyataan dan kenyataan. Jika pernyataan kita tidak bisa dibuktikan sesuai dengan kenyataan (fakta), ini namanya pasti bukan kebenaran yang sesungguhnya, melainkan sebuah dusta (kebohongan).
    Pribadi otonom juga bisa diibaratkan sebagai a stoic man (kebijakan hidup dalam mazhab Stoa). Dalam a stoic dimaksudkan seorang laki-laki –jarang sekali perempuan- yang tetap tenang dan tidak tergoyahkan dalam situasi-situasi yang paling aneh dan paling sulit sekalipun. Ia berdiri “dengan kepala di awan-awan, namun sepasang kakinya tetap kokoh berpijak di atas aliran banjir deras”, tenang sekali, tak dapat diganggu, dan rasionalistis. Ia bukan seorang manusia emosional, melainkan seorang pemikir dingin. Gejolak perasaan dan hawa nafsu ditolaknya sama sekali karena semua itu adalah irasional, rendah, menyesatkan dan tidak pantas bagi manusia.
    Yang sering membuat “sesat pikiran” seseorang, adalah adanya sifat manut grubyuk, tanpo rembuk, monthak-manthuk (ikut arus) pada orang lain. Padahal kita adalah bukan mereka, artinya tiap-tiap orang sesungguhnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Kita lebih senang belajar pada orang lain, padahal orang lain tempat kita ngangsu kawruh (menimba ilmu pengetahuan) itu belum tentu benar dan tidak menyesatkan. Kita lupa pada kekuatan dan kelemahan yang ada pada diri kita masing-masing.
    Kita memang perlu banyak belajar pada berbagai orang yang memiliki pengetahuan luas untuk pencerahan, tetapi orang lain atau guru tersebut bukanlah penentu akal dan budi kita. Akal dan budi kita hanya diri kitalah yang dapat merasakan, memahami, mengetahui dan menentukan. Artinya, tanpa kita mengenal diri sendiri mustahil kita bisa menjadi diri kita sendiri atau pribadi yang otonom. Selamanya akal dan budi kita dekendalikan oleh orang lain dengan sistem remote control (pengendalian jarak jauh).
    Jika Anda begitu gandrung atau mengidamkan pribadi otonom, maka belajarlah mengenali diri sendiri. Siapakah Aku? Untuk apa tujuan hidupku? Apa kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan diriku? Maukah aku terus belajar untuk memperbaiki semua kelemahanku? Maukah aku membagi kelebihan-kelebihan yang aku miliki untuk orang lain? Bisakah aku merasakan bahagia ditengah-tengah kesedihanku? Bisakah aku merasa sedih ditengah-tengah kebahagianku? Mampukah aku menerima kenyataan yang menyedihkan dengan perasaan biasa? Mampukah aku menerima kenyataan yang membahagiakan dengan perasaan yang biasa pula?
    Pertanyan-pertanyaan itu cukup mendasar yang tidak mungkin dijawab dengan benar oleh orang lain. Hanya pribadi kitalah yang mampu menjawabnya dengan benar, sebab “akal dan budi” kita hanya bisa kita bentuk dengan benar apabila kita telah mengadakan penyelidikan yang mendalam tentang siapa diri kita. Semakin banyak kita berbohong terhadap diri sendiri, semakin sulit kita menjadi pribadi yang otonom. Kita bisa berbohong terhadap Tuhan maupun kepada orang lain, tetapi bagaimana mungkin kita bisa berbohong terhadap diri sendiri?
    Contoh kasus, banyak orang yang berprilaku kejam yaitu menjadi teroris. Padahal, andaikata para teroris itu mau belajar untuk menjadi pribadi yang otonom, maka tidak mungkin mereka akan terjerumus dengan pikiran orang lain yang ditanamkan pada akal budinya. Akal budi kita, kita sendirilah yang menentukan sebab kita sendirilah yang paling tahu bagaimana kita akan membentuk kehidupan untuk diri kita sendiri.
    Para teroris atau orang-orang yang hanya manut grubyuk dan monhtak manthuk (manggut-manggut) saja, adalah pribadi-pribadi yang “hilang” dari jagad kecil dirinya sendiri. Mereka tersesat dalam belantara ide orang lain. Kita patut mengasihani pribadi-pribadi yang hilang ini, kita patut menuntunnya untuk bisa kembali menemukan jalan menuju pada “dirinya sendiri”.
    Kebenaran itu tidak perlu banyak teman (bolo sing akeh), sebab teman kebenaran hanya butuh fakta dan kuncinya adalah logika. Seseorang yang ingin menjadi dirinya sendiri, hendaknya lebih banyak belajar pada kasunyatan. Kasunyatan adalah fakta dan fakta bisa kita pelajari melalui hukum-hukum alam semesta yang tidak pernah berdusta. Sebab alam tidak memiliki kepentingan politik dan kekuasaan. Kepentingan alam adalah “bekerja sesuai dengan hukum-hukumnya” yang tidak mungkin bisa kita suap dan tidak bisa kita bohongi.
    Duplikating alam semesta itu sesungguhnya ada dalam tubuh dan pikiran kita. Jika kita mampu mengekplorasi atau menjelajah pada “jagad kecil kita”, niscaya kita akan selamat dari bencana karena kebodohan dan ketidaktahuan kita. Dalam jagad kecil kita ada matahari, bulan, bintang, tanah, air, api, udara, hutan belantara, dan aneka binatang baik yang buas maupun yang jinak dalam wujudnya yang berupa “sinyal” atau simbol-simbol. Sistem kerja tubuh kita mengikuti alur kerja alam semesta. Oleh karena itu kita perlu belajar banyak dari alam semesta untuk memparalelkan dengan mekanisme kerja tubuh kita.
    Guru sejati kita adalah alam dan diri kita, bukan orang lain. Orang lain betapa pun mengaku dirinya sebagai orang pintar atau mengaku siapa pun, tetaplah bukan guru yang tak pernah berbohong. Bukan guru yang tak memiliki kepentingan-kepentingan tersembunyi. Hati-hatilah dengan peran guru, sebab guru yang baik bukan guru yang meminta tetapi guru yang senantiasa memberi dengan kelapangan hati nurani.
    Guru yang lebih banyak memberi, pasti sedikit jumlahnya. Sebab, guru tersebut pastilah seseorang yang sudah memiliki “harta berlimpah”, harta tersebut berujud karunia hati. Karunia hati inilah yang selanjutnya akan mengantarkan kita dan menuntun kita untuk “mengenal dirinya sendiri”. Bukan dengan cara mistik tetapi melalui pendekatan kawruh jiwo (pengetahuan mengenai jiwa yang sesungguhnya).
    Tugas guru tersebut hanya mengantarkan. Jadi sama sekali tidak meminta dan menanamkan doktrin kebenaran berdasarkan idenya sendiri.
    Selamat berjuang untuk menjadi pribadi yang otonom. Pribadi yang otonom bukanlah pribadi yang rakus, iri dan dengki, suka berbohong dan mengumbar nafsu angkara murka. Pribadi yang otonom adalah pribadi yang menikmati hidupnya apa adanya (tidak neko-neko) tidak menginginkan sesuatu yang diluar kemampuannya dan mau menikmati tugas yang diemban dengan penuh tanggungjawab.
    Saya percaya, semakin banyak masyarakat kita yang mau menggali dan mengamalkan prinsip “jati diri”, maka mental dan budaya bangsa Indonesia perlahan-lahan akan bangkit menuju abad pencerahan perpikir dan bersikap. Tanpa revolusi cara berpikir, tidak mungkin bangsa Indonesia akan bisa meraih kejayaan. Kita akan menjadi bangsa yang maju hanya apabila kita mampu mengubah pola pikir (mind set) dari pemikiran tradisional yang lekat dengan feodalisme, tahayul dan mistik menjadi progresif revolusioner berdasarkan rasionalitas dan tanggungjawab pribadi yang tinggi.
    Sedikit ajaran Epikurus (341-270 SM), sebagai penutup tulisan ini. Bagi Epikurus kodrat manusia adalah mencari “kesenangan”. Tetapi, banyak penderitaan lebih pantas dipilih apabila dengan penderitaan itu lambat laun mendatangkan kesenangan yang lebih besar bagi kita. Jadi setiap kesenangan, sesungguhnya adalah sesuatu hal yang baik, namun tidak seharusnya kita mencari setiap kesenangan dengan menempuh jalan apapun. Setiap penderitaan sesungguhnya suatu hal yang buruk, namun tidak seharusnya kita menghindari setiap penderitaan.
    Menurut Epikurus, kesenangan tertinggi adalah kesenangan jiwa atau ketenangan jiwa yaitu jiwa dalam keadaan yang sejahtera. Memperoleh ketenangan jiwa ini adalah kemungkinan ultim manusia selama hidupnya dan makna seluruh keberadaannya. Untuk kebahagian sedemikian itu, sebetulnya kita tidak memerlukan harta benda yang berlebihan, karena manusia batiniah itu sebenarnya sudah memilikinya lebih dari cukup. Ketenangan hati dan kedamaian jiwa membuat kita tak tergoyahkan dalam segala situasi kehidupan ini.
    http://tomyarjunanto.wordpress.com/2008/05/09/menjadi-diri-sendiri/

  12. Artikel yang bagus, bro buat penyadaran … mohon izin copas yah bro …

  13. artikkel yang luhur,,saya ingin langkah kaki saya menuju insan kamil yg tentunya melalui proses yang tdk mudah dan tdk sebentar tapi saya yakin lewat jalan penuh ilmu, saya bisa mengikuti alur proses menuju Jatidiri sendiri agar bisa mengenal Allah s.w.t lebih dekat dan lebih dekat .

  14. kehidupan sejati adalah jika hidup itu memilki dan mensyukuri segala nikmat yang Allah telah beri kepada kita,baik ataupun buruk semua adalah pemberian yang luhur sebagai pelengkap hidup yang sempurna.

  15. pato

    argumen yang indah

Tinggalkan komentar