Sebuah Pencarian

Damardjati, Sebuah Pencarian


Seno Joko Suyono  ;   Wartawan Tempo

TEMPO.CO,  22 Februari 2014

 

                                                                                                                        

                                                                                                                       

“Kita harus mati, sebelum mati.”  Tak ada lagi yang berbicara demikian di seminar-seminar. Yogya kehilangan sosok uniknya. Prof Dr Damardjati Supadjar meninggal pada usia 72 tahun, Senin lalu. Dia dikenal di forum apa pun, selalu membahas tema dalam perspektif spiritual sinkretis Jawa dan Islam. Banyak yang menganggap cara berpikirnya othak-athik. Tapi justru di situlah letak keotentikannya.

Penampilannya bersahaja. Orang sering melihat Pak Damar melintas di Bulaksumur menyetir sendiri Fiat oranye “balita” (di bawah lima juta). Ia melayani diskusi dari kelompok mahasiswa sampai pengajian ibu-ibu. Metaforanya sering “porno”. Kita menjadi tahu mengapa banyak filsuf Jawa menggunakan idiom-idiom erotis untuk menjelaskan konsep perenial seputarmanunggaling kawula gusti dan sangkan paraning dumadi.

Nama Damardjati menanjak sepulang belajar di Belanda pada 1980-an. Ia menjadi penasihat Sultan. Disertasi Damardjati di bawah bimbingan filsuf Belanda, Van Peursen, mengenai pemikiran kosmologi Alfred North Whitehead. Betapapun demikian, ia seolah-olah mengatakan bahwa apa yang dimaksud buku utama Whitead, Process and Reality, sesungguhnya sudah implisit ada dalam pemikiran spiritual Jawa. Di UGM sendiri, tempatnya mengajar, ia mendorong mahasiswanya menggali konsep-konsep Ketuhanan dalam berbagai teks Jawa. Bukan hanya pada “kanon-kanon” teks, seperti Wedhatama. Tapi juga dari teks-teks komunitas-komunitas kebatinan kecil.

Tak banyak yang tahu Damardjati adalah Ketua Umum Hardo Pusoro, organisasi kebatinan yang didirikan Ki Kusumowicitro di Kemanukan, Purworejo, pada 1895. Organisasi ini lebih tua daripada Subud, Pangestu, dan Sumarah. Bila kita perhatikan, Damardjati sering mengutip Serat Jati Murti, Serat Madurasa, Serat Kaca Wirangi, dan Wewadining Rasa. Teks-teks itu karangan R. Soejonorejo, murid Kusumowicitro. Seorang mahasiswa bimbingannya juga pernah menulis skripsi tentang konsep ketuhanan Serat Bayanullah karya Panji Natarata-guru  Kusumowicitro.

Bimbingannya yang lain suatu ketika membahas serat Icip Pati (Mengicipi Kematian) karya R. Indrajit Prawira. Tak diketahui siapa Indrajit karena susah memperoleh data biografinya. Tapi, menurut Pak Damar, serat Icip Pati aslinya berhuruf Jawa kuno dan pernah ditranskripsikan ke bahasa Latin oleh Panji Natarata.

Dalam kuliah-kuliahnya, Damardjati juga kerap menyinggung soal pemikir Rusia, Gurdjiev dan Ouspensky, yang dikenal luas dalam kalangan teosofi. Di Belanda, ia membaca buku Ouspensky: Fourth Dimension. Menurut Damardjati, orang Jawa juga merefleksikan dimensi keempat. Maka dari itu, saat seorang mahasiswanya membuat skripsi membahas buku Ouspensky, Tertium Organum, Damardjati gembira. Bagi Ouspensky, evolusi manusia secara fisik sudah selesai. Namun ia percaya masih terbuka kemungkinan evolusi intuisi menuju dimensi yang lebih tinggi.

Pak Damar tak henti-hentinya menganjurkan orang agar melatih kepekaan membaca epifani ayat-ayat alam, sesuatu yang susah, dan, jelas, kita tak tahu bagaimana caranya. Tapi, di tengah hiruk-pikuk politik, Pak Damar seperti oase. Saya sendiri tiba-tiba teringat, ia sering mengutip kata-kata yang tertoreh pada nisan Sosrokartono di Kudus, kakak Kartini: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Tidak tahu adakah di nisan Damardjati di Magelang terpahatkan kalimat-kalimat bijaknya. ●

”neng gunung wah neng ngare,gusti allah ono, endhi kang dadi cipto lan usiking ati, kabeh mesthi kapirsanan dening allah hyang widhi”

Categories: Sebuah Pencarian | 1 Komentar