Daily Archives: 26 Oktober 2009

ARS EROTICA JAVANESE WOMAN


karon

Ada banyak tipe perempuan. Salah satunya bertipe SURYA SUMURUP yaitu perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini konon menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.


Tipe perempuan lainnya di antaranya adalah:…


BULAN DADARI yaiku sing raine sumringah rada bunder, awake sedengan alise kandel, rambute ireng lemes, merit kencete.PISANG SULUH, awak imut, kulit kuning, pasuryane ketok ana otot semburat ijo, sinom ketel, mata amba rada belo, mranani ati saben pria sing nyawang, tindak tanduke merak ati, gawe welas asih.

SEMONGGO WARU iku sing awake lencir, kulite ireng manis, bangekane merit, payudarane montok dan mata rada amba, atine rada nyengit nek rambute kriting basane pinter nyimpen rahasia seneng dijak selingkuh.

LINTANG KARAINAN iku sing awak imut, rambut ireng kandel, kulit sawo mateng, alis kandel, montok lan bangkekan merit, bisa nyimpen wadi, atine alus gampang tersinggung tapi gampang tresna.

DURGASARI, awak ipel-ipel nanging dempal, kulit sawo matang, rambut tipis, bangkekan sedengan, sikil kandel, dlamakan njebebeh (ketoke cah panekan merga sering munggah gunung), susu gede montok, nek omong ceplas-ceplos, tandang gawene sak kepenake, nanging jujur apa anane.

SUBONDRIO: awak rada langsing lan lencir, kulit kuning bangkekan cilik, rambut kandel, sabar, setia, gak gampang kena goda.

RAKSASA DURGA, badan dempal, kulit ireng, rambute kriting, susu gede sikile cilik mlakune oyag-ayig.

MRICA PECAH, badan ramping/singset,kulit kuning rada putih,rambut biasa dan awak rada montok, bisa nyimpan rahasia.

MACAN KETAWAN, raine sumringah, mata mblalak, badan rada gedhe, kulit bang-bang awak, adate keras, tabah ngadhepi goda,seneng nulung lan bisa sabar.

CIRI WANITA YANG COCOK DIJADIKAN ISTERI:

Bentuk sirahe bunder. Wajah bunder kaya wulan purnama. Jidate rata lan serasi. Matanya rada amba/njahit, tapi enak disawang. Sorotan mripate cumleret tajem, arang-arang kedep lan gak seneng lirak-lirik. Alise rada lurus dan idepe rapi. Irunge lurus lan rada mbangir garis sisi kiwa tengen irung katon jelas.

Ambane tutuk (cangkem) sederhana. Lambene mingkem rapet untune gak ketok. Nanging ketok sumringah. Lambene rata gak ketok cembung. Kupinge kandel lan apik.

Janggute menarik dan daging nang janggut ketok kandel. Driji-drijine lancip, tapi kukune kandel. Tapak tangankandel. Tapi bagian tengah alus kaya sutera.

Bentuk tapak kaki dan drijine apik, tapi drijine kandel tebal tapi lembut dan kaku nenawa lagi midak lemah. Kuku kandel. Badannya amba lan daging punggunya kandel (mentek). Balung-balunge rangka sederhana utawa alus, kulitnya ya alus lan lemes, tapi singset. Nek ngguyu awake ora melok obah-obah, utawa ajrut-ajrutan.

Lungguhe teratur rapi. Nek lungguh timpuh, sikile rapet lan rapi. Nek lungguh anteng ora pencilakan. Nek mlaku lembeyane kaya blarak sempal maksude gak nganti mbukak ketek lan awake gak melok lenggak-lenggok.

Benarkah analisis  yang tertera di Serat Centhini ini ya? Ya, daya tarik perempuan dan daya tarik erotiknya tidak akan pernah habis dibicarakan. Bagi kaum pria akan ngobrol soal seks secara lebih bebas daripada kaum wanita yang lebih suka bisik-bisik. Seks merupakan naluri instingtif manusia yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala.

Beberapa karya kuno yang pernah ada di dunia di antaranya Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM – 17 M) atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke 1 – 6 M). Keduanya adalah kitab klasik petunjuk untuk menikmati seks. Sementara di Jawa pada awal abad ke-19 ditulis karya sastra yang hebat yaitu Serat Centhini (nama resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad ilhar) atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.

Otto Sukatno CR dalam bukunya Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa  memaparkan satu bab dalam Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang antara lain memang bicara soal seks. Dalam Serat Centhini, masalah seksual diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling.

Dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal OLAH ASMARA yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi.

Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana PRATINGKAHING CUMBANA (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya. Perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.

Hal itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa cekikikan.

Salah satu percakapan itu misalnya seperti ini, “Nyai Tengah menjawab sambil bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan, napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas Mak bul mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa, karena meski besar seakan mati.”

Soal katuranggan juga banyak diungkapkan dalam Serat Centhini. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya. Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.

Sebagai gambaran, perempuan bertipe surya sumurup itu perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sino m (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak diragukan lagi. Lebih dari itu ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.

Sementara itu dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna terungkap ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Atau, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang.

Etika Bersenggama
Menurut Ki Kumitir, etika bersenggama diungkap secara jelas dalam “NITISAKE WIJINING DUMADI”. Setidaknya saat bersenggama ada empat perkara yang harus diperhatikan yaitu “eneng, ening, awas, eling.”

1. Eneng, iya iku wektu karon-sih atine kudu eneng (menep), dene paedahe bisa suwe wetuning rahsa, lan gawe kandeling wiji,. Amarga ati kang menep mau bisa ngenthelake wiji (jiwa), kentheling jiwa bisa mahanani kandeling wiji, ing wusana dadining anak ing tembe bisa dawa umure.

(Saat bersenggama hati harus tenang ‘menep’. Manfaatnya agar rahsa yang tersatukan itu bisa beproses lama dan membuat Jiwa kuat sehingga nanti anak yang akan dilahirkan bisa panjang umur.)

2. Ening, iya iku atine kudu ening, dene paedahe bisa nikmat rasane lan manfaat. Amarga kaweningan mau bisa gawe weninging wiji (tetep trimurti), wiji kang tetep trimurti mau ing wiji ala apa becik, dene panengerane wujud cahya kaya kawasa.

(Hati harus hening, agar tercapai kenikmatan dan manfaat. Keheningan bisa membuat Jiwa juga jernih)

3. Awas, iya iku kudu mulat kedep-liringing rabine, wektu karon-sih, kendho apa mempeng, utawa ngulatake tumitising wiji ala apa becik, dene panengerane wujud cahya kaya kang wis kapratelakake ing dhuwur.

(Mengawasi pasangannya saat bersenggama, apakah santai atau serius. Ini juga berpengaruh pada jiwa apakah itu baik atau buruk)

4. Eling, iya iku aja mikir liya-liyane, kajaba eling yen wektu iku lagi nitisake wiji, mula yen rabine semu kendho ing karon-sih, wajib eling, manawa durung binuka bakuning rasa, tumuli duweya osik sumedya mbuka kadatoning rahsa, supaya rabine mau gumregut rasane, lan maneh yen nyumurupi cahyaning wiji ala kang bakal tumitis, banjur enggal-enggal bisa nglebur sarana laku nusupake utawa mutahake menyang ing jaba. Dene manawa uninga wiji becik kang bakal tumitis, iya banjur bisa mrenahake ing papan samestine.

(Tidak berpikir macam-macam, konsetrasi sedang berhubungan jiwa raga. Ini akan membuka kerajaan rasa dan memberikan cahaya terang pada jiwa yang akan dilahirkan…)

***

Categories: WANITA MENGGAIRAHKAN | 4 Komentar

NGUDI KAWRUH KASUNYATAN


Ajaran hidup menuju kesempurnaan hidup lahir batin harus terus dijalani untuk mencari kemudian menemukan pengetahuan sejati tentang kenyataan mutlak (NGUDI KAWRUH KASUNYATAN). KAWRUH KASUNYATAN itu kemudian hendaknya dihayati dalam satu kesatuan sistem pemahaman sehingga pemahaman kita tidak bercerai berai…

Apakah hakikat menuntut ilmu? Apakah hanya bermakna membolak balik dan ‘menthelengi’ buku-buku, membaca kitab-kitab (baik garing maupun teles), merenungkan fakta demi fakta yang kita alami saja? Kalau jawabannya “iya” berarti kita pikiran kita masih seperti pikirannya anak-anak.

Pikiran yang lebih maju dan lebih lengkap pasti tidak seperti itu. Harusnya kita melanjutkan pemahaman-pemahaman mitologis yang terpelihara di dalam gudang data pengetahuan di kepala kita dengan cara lebih kritis lagi.

Setelah kita membaca atau merenung harus diteruskan dengan mengolah diri. Bila membaca bersifat pasif: menerima bahan-bahan ajaran, maka mengolah diri bersifat aktif: membuktikan apakah ajaran yang disampaikan para cerdik cendekia itu memang mengandung kebenaran-kebenaran atau justeru mengandung kesalahan. Berarti seorang pencari ilmu harus berani untuk ‘nglakoni’ atau ‘memulai perjalanan laku.’

Di JAwa ada istilah GURU BAKAL dan GURU DADI. Bila GURU BAKAL menunjuk pada pelajaran-pelajaran, buku-buku, ceramah-ceramah atau data-data mentah. Maka GURU DADI-nya adalah MULATSARA DIRI (mengolah diri).

Sudah banyak dipaparkan bagaimana ajaran cara mengolah diri agar kita mampu untuk menjalani hidup ‘sangkan paraning dumadi’ mulai dari bayi, masa kanak-kanak, dewasa, masa tua. Bahkan saat menuju ajal datang pun ada ajarannya. Bahkan sudah terlalu banyak kita dijejali oleh berbagai ajaran hidup menuju kesempurnaan, tinggal apakah kita siap untuk ‘Mulatsara Diri’.

Ajaran hidup menuju kesempurnaan hidup lahir batin harus terus dijalani untuk mencari kemudian menemukan pengetahuan sejati tentang kenyataan mutlak (NGUDI KAWRUH KASUNYATAN). KAWRUH KASUNYATAN itu kemudian hendaknya dihayati dalam satu kesatuan sistem pemahaman sehingga pemahaman kita tidak bercerai berai. Kita hendaknya bisa menyusun fakta demi fakta yang kita alami dalam hidup dengan hati-hati. Ini memerlukan KEHALUSAN PERASAAN, INTENSITAS KEMAUAN dan TINGKATAN-TINGKATAN OLAH RASA.

Dalam SERAT MADU RASA karangan Ki Soedjonoredjo, ada dua tingkat olah rasa.

Tingkat pertama, MADU BASA yang meliputi sopan santun, tata cara, adat istiadat. Intinya adalah bagaimana kita menyusun pengetahuan-pengetahuan lahir atau tata ‘bahasa’ agar mendapatkan ‘kemanisan madu’

Tingkat kedua, MADU RASA yang meliputi tepa sarira, tepa palupi, unggah ungguh, eguh-tangguh, tuju-panuju, empan-papan, kala-mangsa, duga-prayuga, lambe-ati. Kemanisan rasa yang dialami pada tingkat kedua ini lebih mendalam, lebih asyik dan berlangsung dalam waktu yang lebih lama dari tingkatan kedua dan sangat-sangat menyenangkan.

Menurut Ki Soedjonoredjo, ada 13 macam ‘kesenangan’ untuk NGUDI KAWRUH yaitu:

1. Dalam hal mencari keterangan, tanda-tanda atau urusan, kesenangan yang diperolehnya sepanjang jalan seperti kesenangan agen ‘telik sandi’ yang yang mencari ‘SISIK MELIK’.
2. Terpeliharanya DAYA RASA seperti petani yang memelihara tanaman dengan penuh kegembiraan namun belum menemukan hasilnya, yaitu WATAK.
3. Dalam hal melatih PANCA INDERA, kesenangan yang kita peroleh seperti kesenangan joki saat melatih kuda atau seperti pawang melatih gajah, atau kesenangan guru mendidik anak didiknya.
4. MENABUNG DAYA GAIB; kesenangan yang diperolehnya seperti menabung uang, atau pada waktu ditemukannya pedoman-pedoman tertentu sama seperti tukang kayu memperoleh tatah, bur, jangka, penggaris.
5. MENGURAI DAN MENYUSUN DAYA BATIN. Apabila diperoleh rasa dan daya baru, rasa baru itu diolah lagi dan diperhalus lagi. Misalnya untaian ratna. Kesenangan seperti itu sama sekali tidak terhingga, kecuali oleh yang sudah mengalami.
6. MEMBAGI, MENGATUR, MENYUSUN PIKIRAN DAN DISELARASKAN DENGAN RASA dan bisa menghasilkan karya yang indah.
7. MENJUMBUHKAN RASA YANG BERMACAM-MACAM, diatur menurut urutan tingkatan, diselaraskan sehingga tercapai rasa yang indah. Seperti juru masak yang ahli meracik masakan. “Rasa kang sumingit ana layang kikidungan anggitane para linuwih apa dene kang ana ing candi, wayang, gamelan, pakem lan liya-liyane, kabeh wujud gugubahan utawa oncen-oncen (anyar) kang banget endahe. Rasa kang digubah pada maujud ana ing kaalusan, dadi rerenggan sajroning gaib, kang ora kena kinaya ngapa endahe”
8. Orang yang sedang NGELMU dengan penuh ketekunan akan merasakan dan memperhatikan kemajuan yang dicapai, selalu MENDAPAT PETUNJUK DARI PRIBADINYA SENDIRI. Kesenangannya seperti anak sekolah, rasa dan budinya seperti guru, alam semesta ini sebagai pelajaran. “Kabeh pada aweh pitutur marang kang ahli sasmita: kaya-kaya sarupaning kang tumuwuh pada muni dewe-dewe, sarta unine laras kaya gending kang banget kepenake”
9. Penuntut ngelmu akan gemar berbuat baik kepada sesama. Tumbuh niatnya seperti itu dari kehendak yang luhur dan niat itu akan memperbesar DAYA KELUHURAN. Hasilnya langsung akan mengenai diri pribadinya juga; yaitu lenyapnya penyakit watak dan tumbuhnya perasaan dan budi yang luhur.
10. Penuntut ngelmu mempunyai kesenangan seperti pengadu ayam, jangkrik, permainan. Sebab setiap hari selalu menghayati PERANGNYA ANASIR-ANASIR BAIK BURUK. Apabila yang buruk dikalahkan yang baik, kepuasannya melebihi pengadu ayam sebab ia memperoleh ganjaran berupa: DAYA HALUS. Sedangkan pemain ayam asuan hanya memperoleh uang.
11. Penuntut ngelmu yang gentur/gigih mempelajari RAHASIA KEHIDUPAN juga memiliki kesenangan yang sama dengan kesenangan raja yang berperang menaklukkan negara lain. Yaitu bila kekuatan “setan” dikalahkan oleh unsur ILAHIAH pada pribadi kita.
12. Orang yang ngelmu pelajaran kebijaksanaan hidup juga mempunyai kepuasan dan rasa bebas seperti orang yang berhasil melenyapkan KLILIP atau kotoran di pelupuk mata, atau belenggu yang mengganggu perjalanan hidup. Dia terbebas dari ikatan KECANDUAN DUNIA dan RASA BEBAS DARI KEKANGAN. Seperti anak yang tidak lagi menangis karena disapih.
13. Ahli ngelmu mengerti dengan jelas bahwa berbuat baik sangat besar manfaatnya untuk dijalankan. Misalnya kita kehilagan 2 sen dan dapat ganti 100 rupiah, menanam satu biji kelapa dapat hasil banyak dan terus-terusan bagi orang yang AHLI RASA. Mengerti saja sudah senang seperti memperoleh keuntungan yang besar, sebab kenyataannya tidak banyak orang yang menghayati kalimat-kalimat ‘mandes’ hingga ke lubuk hati: “KANG AKEH MUNG KUMAMBANG DIANGGO KEMBANG LAMBE, ORA BISA YAKIN SAJRONING ATI. APA MANEH PANGERTI BAB RASA TRESNA MARANG DAT, DADI WOT MARANG SEGARA RAHMAT. MANUNGSA KANG BISA NGREGANI MARANG PANGERTI KANG SAMAR IKU NGRASA NEMU KANUGRAHAN GEDE, SUKA SUKURE NGUNGKULI KANG NEMU EMAS”

@wongalus, 2009

Categories: NGUDI KAWRUH KASUNYATAN | 7 Komentar